Kebijakan Keamanan Nasional

Selama puluhan tahun negara mendominasi pemikiran tentang Keamanan Nasional, yang cenderung lebih bertumpuh kepada pengalaman dan fakta historis peran Militer sejak perang kemerdekaan lebih lanjut dengan pengalaman perang gerilya melawan militer asing (Belanda) yang menduduki wilayah NKRI dan kemudian ketika militer diperankan penuh dalam menanggulangi konflik-konflik internal dalam bentuk berbagai pemberontakan bersenjata yang berlarut-larut.


Akibatnya, pemikiran dan pemahan tentang makna Keamanan Nasional pun amat dipengaruhi atau hanya mengacu kepada doktrin-doktrin militer yang lahir dari pengalaman dan resep sukses kepeloporan peran Militer di masa lalu.

Konstatasi terhadap kenyataan tersebut di atas telah diungkap secara lebih dramatis bahkan jelas oleh Dr. J. Kristiadi-CSIS 2005 sebagai berikut:

”Persepsi masyarakat mengenai kosakata keamanan selama beberapa puluh tahun didominasi oleh sikap dan perilaku negara dalam mewujudkan dan menjabarkan kebijakan (atau ketidak-bijakan) mengenai apa yang disebut keamanan bagi warganya, issue keamanan selama kurun waktu yang panjang tersebut telah ditafsirkan oleh negara secara sempit sebagai upaya mengamanan negara. Sedemikian aksesifnya cara-cara penguasa menciptakan rasa aman bagi negara, sehingga bagi masyarakat tidak merasakan adanya korelasi antara rasa aman negara dan rasa aman bagi warganya. Seakan-akan malah terjadi korelasi negatif antara rasa aman warga dengan keamanan negara. Artinya: semakin tinggi upaya mangamankan negara menjadikan semakin rendahnya rasa aman warga masyarakat. Akibatnya: negara justru dapat menjadi ancaman yang mengerikan dan menakutkan bagi warganya,” karena negara menjadi penjelma keserakahan dan kerakusan pemegang kekuasaan, dengan membangun kesetiaan dan ketakutan warga masyarakat dengan cara memani pulasi simbul dan slogan yang ditanam melalui indokrinasi dan penafsiran sepihak mengenai hal-hal yang berkenan dengan sikap cinta tanah air, memelihara persatuan dan kesatuan, menjadi stabilitasi nasional dsb.”

Lebih lanjut dikemukakan bahwa:

”kegiatan-kegiatan yang dilakukan atas nama keamanan dan keselamatan negara dianggap mempunyai legitimasi untuk melakukan kebijakan apa saja, termasuk kapan harus melakukan represi terhadap warganya sendiri.” Oleh sebab itu, ketika kini kita harus bicara tentang keamanan nasional, maka harus bicara tentang hak warganagara untuk dapat menikmati suatu kondisi rasa aman yang tidak lagi mengacu kepada konsep keamanan yang pernah di indoktrinasikan berdasarkan paradigma kekuasaan dan dominasi peran militer melalui lembaga ”KOPKAMTIB” dan ”LAKSUSDA” dalam upaya menjaga keamanan nagara dimasa lalu.

Konsep keamanan yang harus kita definisikan kini ke depan harus mengacu kepada amanat bangsa yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yaitu pada alinea IV. Artinya: Keamanan Nasional tidak bisa lain dari suatu kondisi rasa aman yang dirasakan secara nyata oleh setiap individu warganegara disatu sisi, dan disisi lain kondisi tersebut adalah merupakan tugas dan kewajiban Pemerintah Negara untuk mewujudkan melalui segenap potensi dan kemampuan dalam menjalankan tugas: (a) Melindungi segenap warga negara dan seluruh tumpah darah Indonesia; (b) Memajukan kesejateraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (c) Ikut melakukan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Amanat ini dapat kita jabarkan sesuai dengan hahekat fungsi dan peranan Pemerintahan Negara melalui kekuasaan eksekutifnya untuk menjalankan:
a. Tugas pertahanan negara (defense) yang bermakna sebagai menegakan kedaulatan aksternal negara melalui cara-cara militer sudah barang tentu untuk menghadapi ancaman kekuatan militer dari luar negeri sebagai perwujudan dari: external souvereignty by military force.
b. Tugas Prosperity yang merupakan perwujudan dari memajukan kesejateraan umum dan mencerdasakan kehidupan bangsa, artinya: tugas Prosperity adalah tugas Pemerintahan Umum untuk menjamin kesejateraan warganegara dengan menyelenggarakan berbagai fungsi pelayanan publik yang terdiri dari:
(1) Pelayanan publik melalui Departemen-departemen teknis seperti : Pendidikan, kesehatan, sosial, pertanian industri dll.
(2) Pelayanan publik melalui penyelenggaraan tugas Keamanan Dalam Negeri (Internal Souvereignty)
c. Menjalankan diplomasi dengan negara dan bangsa-bangsa didunia dalam rangka menjaga external souvereignty melalui cara membangun kemitraan” (external souvereignty by diplomacy).

Oleh sebab itu, untuk mewujudkan Kamnas, negara harus dapat memberikan rasa aman kepada masyarakat terhadap ancaman Militer dari Luar Negara (dengan sistem pertahanan yang dijalankan oleh kekuatan militer profesional/TNI), memberikan rasa kepastian dan perlindungan hukum serta rasa sejahtera melalui penyelenggaraan Pemerintahan Umum yang menegakkan KAMDAGRI guna menjamin kelangsungan upaya prosperity, kemudian negara juga harus dapat memberikan rasa aman serta sejahtera melalui penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri yang dijalankan dengan cara Diplomasi yang memenangkan kepentingan Negara dan Bangsa.

INFO RUU Kamnas

Yang butuh dokumen Sandingan RUU Kamnas di:
Download

Yang butuh dokumen Critical Review RUU Kamnas di:
Download

Kebijakan Kamnas

Selama puluhan tahun negara mendominasi pemikiran tentang Keamanan Nasional, yang cenderung lebih bertumpuh kepada pengalaman dan fakta historis peran Militer sejak perang kemerdekaan lebih lanjut dengan pengalaman perang gerilya melawan militer asing (Belanda) yang menduduki wilayah NKRI dan kemudian ketika militer diperankan penuh dalam menanggulangi konflik-konflik internal dalam bentuk berbagai pemberontakan bersenjata yang berlarut-larut.



Akibatnya, pemikiran dan pemahan tentang makna Keamanan Nasional pun amat dipengaruhi atau hanya mengacu kepada doktrin-doktrin militer yang lahir dari pengalaman dan resep sukses kepeloporan peran Militer di masa lalu.

Konstatasi terhadap kenyataan tersebut di atas telah diungkap secara lebih dramatis bahkan jelas oleh Dr. J. Kristiadi-CSIS 2005 sebagai berikut:

”Persepsi masyarakat mengenai kosakata keamanan selama beberapa puluh tahun didominasi oleh sikap dan perilaku negara dalam mewujudkan dan menjabarkan kebijakan (atau ketidak-bijakan) mengenai apa yang disebut keamanan bagi warganya, issue keamanan selama kurun waktu yang panjang tersebut telah ditafsirkan oleh negara secara sempit sebagai upaya mengamanan negara. Sedemikian aksesifnya cara-cara penguasa menciptakan rasa aman bagi negara, sehingga bagi masyarakat tidak merasakan adanya korelasi antara rasa aman negara dan rasa aman bagi warganya. Seakan-akan malah terjadi korelasi negatif antara rasa aman warga dengan keamanan negara. Artinya: semakin tinggi upaya mangamankan negara menjadikan semakin rendahnya rasa aman warga masyarakat. Akibatnya: negara justru dapat menjadi ancaman yang mengerikan dan menakutkan bagi warganya,” karena negara menjadi penjelma keserakahan dan kerakusan pemegang kekuasaan, dengan membangun kesetiaan dan ketakutan warga masyarakat dengan cara memani pulasi simbul dan slogan yang ditanam melalui indokrinasi dan penafsiran sepihak mengenai hal-hal yang berkenan dengan sikap cinta tanah air, memelihara persatuan dan kesatuan, menjadi stabilitasi nasional dsb.”

Lebih lanjut dikemukakan bahwa:

”kegiatan-kegiatan yang dilakukan atas nama keamanan dan keselamatan negara dianggap mempunyai legitimasi untuk melakukan kebijakan apa saja, termasuk kapan harus melakukan represi terhadap warganya sendiri.” Oleh sebab itu, ketika kini kita harus bicara tentang keamanan nasional, maka harus bicara tentang hak warganagara untuk dapat menikmati suatu kondisi rasa aman yang tidak lagi mengacu kepada konsep keamanan yang pernah di indoktrinasikan berdasarkan paradigma kekuasaan dan dominasi peran militer melalui lembaga ”KOPKAMTIB” dan ”LAKSUSDA” dalam upaya menjaga keamanan nagara dimasa lalu.

Konsep keamanan yang harus kita definisikan kini ke depan harus mengacu kepada amanat bangsa yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yaitu pada alinea IV. Artinya: Keamanan Nasional tidak bisa lain dari suatu kondisi rasa aman yang dirasakan secara nyata oleh setiap individu warganegara disatu sisi, dan disisi lain kondisi tersebut adalah merupakan tugas dan kewajiban Pemerintah Negara untuk mewujudkan melalui segenap potensi dan kemampuan dalam menjalankan tugas: (a) Melindungi segenap warga negara dan seluruh tumpah darah Indonesia; (b) Memajukan kesejateraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (c) Ikut melakukan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Amanat ini dapat kita jabarkan sesuai dengan hahekat fungsi dan peranan Pemerintahan Negara melalui kekuasaan eksekutifnya untuk menjalankan:
a. Tugas pertahanan negara (defense) yang bermakna sebagai menegakan kedaulatan aksternal negara melalui cara-cara militer sudah barang tentu untuk menghadapi ancaman kekuatan militer dari luar negeri sebagai perwujudan dari: external souvereignty by military force.
b. Tugas Prosperity yang merupakan perwujudan dari memajukan kesejateraan umum dan mencerdasakan kehidupan bangsa, artinya: tugas Prosperity adalah tugas Pemerintahan Umum untuk menjamin kesejateraan warganegara dengan menyelenggarakan berbagai fungsi pelayanan publik yang terdiri dari:
(1) Pelayanan publik melalui Departemen-departemen teknis seperti : Pendidikan, kesehatan, sosial, pertanian industri dll.
(2) Pelayanan publik melalui penyelenggaraan tugas Keamanan Dalam Negeri (Internal Souvereignty)
c. Menjalankan diplomasi dengan negara dan bangsa-bangsa didunia dalam rangka menjaga external souvereignty melalui cara membangun kemitraan” (external souvereignty by diplomacy).

Oleh sebab itu, untuk mewujudkan Kamnas, negara harus dapat memberikan rasa aman kepada masyarakat terhadap ancaman Militer dari Luar Negara (dengan sistem pertahanan yang dijalankan oleh kekuatan militer profesional/TNI), memberikan rasa kepastian dan perlindungan hukum serta rasa sejahtera melalui penyelenggaraan Pemerintahan Umum yang menegakkan KAMDAGRI guna menjamin kelangsungan upaya prosperity, kemudian negara juga harus dapat memberikan rasa aman serta sejahtera melalui penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri yang dijalankan dengan cara Diplomasi yang memenangkan kepentingan Negara dan Bangsa.

Sejarah DKN

Sejarah Dewan Keamanan di Indonesia sesungguhnya berawal sejak kemerdekaan pada tahun 1945. Waktu itu telah dikembangkan gagasan membentuk Lembaga Bela Negara yang bertujuan menghimpun, membahas dan mengintegrasikan setiap upaya nasional yang relevan guna mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan NKRI dari berbagai ancaman. Pada tanggal 6 Juni 1946, melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 46 tentang Keadaan Bahaya, dibentuklah Dewan Pertahanan Negara (DPN) yang bertujuan melaksanakan upaya bela negara yang ditujukan kepada agresi Belanda. Pada tahun 1954, berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1954 yang berinduk pada UUDS RIS, dibentuklah Dewan Keamanan Nasional (DKN) yang bertujuan melaksanakan upaya bela negara dalam rangka mengatasi gejolak yang ada di dalam negeri.

Dalam pidato kenegaraan Presiden Soekarno tanggal 22 Januari 1962, dinyatakan bahwa diperlukan Dewan Pertahanan Nasional (Depertan) dalam rangka upaya bela negara membebaskan Irian Barat dari tangan Belanda. Sebutan Depertan telah menggantikan DKN yang terbentuk sebelumnya. Pada tahun 1970, berdasarkan Keppres Nomor 51 Tahun 1970, diresmikan nama Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (Wanhankamnas) yang bertujuan melaksanakan upaya bela negara dalam rangka pemeliharaan stabilitas nasional dan menjamin kelancaran pembangunan nasional. Keppres ini diperkuat kembali oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara dan Keppres Nomor 51 Tahun 1991 Tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 1970 Tentang Dewan Pertahanan Keamanan Nasional. Kemudian pada tanggal 29 September 1993 Komisi I DPR menyarankan perubahan nama menjadi Dewan Ketahanan Nasional, sehingga berdasarkan Keppres Nomor 101 Tahun 1999 nama Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) secara resmi diberlakukan sebagai pengganti Dewan Pertahanan Keamanan Nasional.

Upaya menuju pembentukan dewan ini dikuatkan dengan telah dikirimkannya anggota DPR ke berbagai negara untuk melakukan studi banding mengenai Dewan Keamanan Nasional pada tahun 2002. Salah satunya Amerika Serikat, yang memiliki National Security Council (NSC, atau Dewan Keamanan Nasional). Penguatan pembentukan DKN ini terus didorong, bahkan hingga rencana untuk mengadopsi NSC Amerika Serikat. Namun, rencana ini mendapat tanggapan dari berbagai elemen masyarakat. Mulai dari reaksi negatif terhadap rencana pembentukan dewan tersebut sebagai upaya yang berlebihan, hingga diskusi bahwa istilah dan konsep Keamanan Nasional tidak ditemukan dalam Konstitusi Negara RI.

Kembalinya wacana pembentukan DKN pun kembali mengundang perdebatan, sehingga kesimpangsiuran tidak dapat dihindari. Mulai dari isu tentang nama lembaga, fungsi dan keanggotaannya, hingga kritik filosofis, urgensi, serta keselarasannya di bawah Konstitusi UUD 1945 (dan amandemennya). Padahal, wacana kritis mengenai isu DKN hanyalah salah satu isu krusial dari berbagai isu tentang Keamanan Nasional (Kamnas), Keamanan Negara (Kamneg), landasan filosofis reformasi sektor pertahanan dan keamanan, perundangan dan peraturan terkait mengenai sektor-sektor pertahanan dan keamanan (mulai dari perlu tidaknya amandemen kembali substansi Konstitusi hingga UU dan peraturan terkait), nomenklatur institusi pertahanan dan keamanan, serta implikasinya di lapangan.

Postingan Lama